Kala malam menaungi bumi, dengan ribuan bintang yang selalu memainkan matanya. Di dalam sebuah ruangan yang remang-remang dengan hanya bercahayakan lampu tidur. Di dalam ruangan itu, Kara, gadis belia berusia 19 tahun dengan mata yang terpejam, namun tak tidur terbaring di atas ranjang yang nyaman.
Pikirannya melayang memikirkan apa yang telah ia alami. ‘kenapa bunda dan ayah harus pergi ? kenapa aku merasa sendiri tanpa kalian.’ Pikirnya. Ia sudah kehilangan orang tuanya 2 Tahun lalu, dan sejak saat itu ia ikut dengan keluarga sahabat ayahnya, Pak Bramantyo.
Keluarga Bramantyo memiliki 2 orang anak yang satu laki-laki bernama Kak Raka dan yang kedua perempuan, seusia Kara bernama Ayuki. Entah mengapa Ayuki sepertinya sangat membenci Kara. Sejak kedatangannya pertama kali., sepertinya Kara lebih menarik perhatian Kakak dan Orang tuanya. Ketika ia menerima perlakuan Ayuki yang benci terhadapnya. Rasa kesepian semakin menguat saja. “aku tidak pernah mengerti, mengapa Ayumi begitu membenciku. Sebenarnya apa salahku ?” ia bertanya pada dirinya sendiri. Hingga waktu terus berjalan dan ia pun terlelap dalam tidurnya.
***
Pagi ini ia harus bersiap-siap berangkat kuliah, Kak Raka, Ayumi dan Kara kuliah di tempat yang sama. Saat berada di meja makan untuk sarapan, nampaknya Ayumi tidak nyaman semeja dengan Kara. “Ra.. gimana kalau kamu sama-sama kita saja ke kampus ?” tawar Kak Raka, Ayuki nampaknya tidak bisa menerima keinginan kakaknya. “Ya, sebaiknya kalian berangkat bersama saja, kuliah kalian juga di tempat yang sama.” Pak Bramantyo menyetujuinya. “aku tidak mau berangkat dengan dia.” Tunjuk Ayuki pada Kara dengan nada yang tinggi.
Semuanya terdiam dan melihat kea rah Ayuki. “memang kenapa Yu ?” tanya mamanya. “sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau bersama dengan dia.” Kata Ayuki dengan nada tinggi. “Kamu ini kenapa sih ?” tanya Kak Raka kesal dengan kelakuan Ayuki. “Hmm, aku tidak jadi ikut saja. Lagipula kuliahku juga tidak pagi. Aku hanya mau menyerahkan tugas dari dosen saja.” Kata Kara merasa bersalah.
Ayuki nampak senang mendengar jawaban dari Kara. “kamu naik apa ke kampus ?” tanya Tante Ranti. “saya bisa naik angkutan umum tante.” Jawab Kara tersenyum. “Tidak sebaiknya kamu berangkat dengan kami saja.” Kak Raka masih bersikukuh. “Tidak..Tidak..Tidak..!!!” Ayuki berontak. “selama dia satu mobil denganku, aku berangkat sendiri saja.” Kata Ayuki sambil meninggalkan meja makan.
“sebaiknya Kak Raka mengantar Ayuki, kasihan dia kak.” Bujuk Kara. “Biar sekali-kali dia memang harus diberi pelajaran anak itu biar tidak terus manja.” Kata Kak Raka kesal. “maafkan Ayuki, Kara. Om juga tidak tahu mengapa ia selalu bersikap seperti itu ke kamu.” kata Pak Bramantyo tidak mengerti. Kara hanya mengangguk, dan tersenyum.
Akhirnya Kak Raka pun berangkat bersama Ayuki tanpa Kara. Kara berhasil membujuk Kak Raka untuk berangkat bersama Ayuki. Raka tidak mengerti mengapa Ayuki begitu membenci Kara. Ia ingin menanyakan itu, namun tidak pada saat ini. Bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah ini, setelah perdebatan dimeja makan tadi pagi.
***
Setelah tahu apa penyebab Ayuki begitu membenci Kara. Kak Raka pun berusaha mematahkan pikiran itu. “bagaimanapun juga kamu tetap adikku, dan anak keluarga Bramantyo. Sesayang apapun kami ke Kara, tak akan ada bisa yang menyamai rasa sayang kami ke kamu.” Kata Kak Raka sambil membelai lembut kepalanya.
Hingga suatu ketika Kara jatuh sakit. Semua sangat panik, dan mengkhawatirkan Kara. “kamu mau apa ? nanti sepulang kuliah aku bawakan.” Tanya Kak Raka. Kara hanya menggelengkan kepala. “Tidak..terima kasih.” Kata Kara tersenyum. “ya, sudah. Kalau kamu ingin apa-apa kamu telepon atau SMS aku.” Kata Kak Raka sambil membelai kepala Kara.
Ayuki melihat dibalik pintu. Perasaan benci itu muncul kembali. Ketika Kara sakit kakaknya sangat perhatian padanya, begitu juga orangtuanya. Ia merasa kesal dengan semua orang, mengapa semuanya berubah sejak kedatangan Kara. Tidak ada satu orangpun yang melihat rasa kesal di dalam dirinya. Ia hanya bisa membatin.
***
Setiap malam ia mengambil selembar foto dari buku hariannya. Memandangi foto kedua orangtuanya. Ia memeluk foto itu, dan menangis merindukan mereka. ia membawa foto itu ke taman belakang sambil berpikir andai orangtuanya masih hidup. Ia masih ingat ketika bundanya masih hidup dan berkata “kalau orang yang baik, ketika mereka meninggal pasti akan mejadi salah satu bintang yang paling terang.” Kata bunda saat Kara sedih sambil menunjukkan sebuah bintang yang paling terang.
Kara melihat dengan rasa percaya. “apa yang mereka lakukan disana ?” tanyanya iseng. “mereka melihat orang-orang yang mereka sayangi dan menjaga mereka agar tidak sedih.” Jawab bunda sambil tersenyum. Sejak saat itu ia senang sekali melihat bintang dan saat kedua orangtuanya meninggal, ketika ia merindukan mereka. ia pasti akan melihat bintang, mencari 2 bintang yang paling terang.
Tanpa ia sadari Kak Raka muncul dibelakang dan tiba-tiba duduk di sebelah Kara. Kara buru-buru menghapus air mata dan menyembunyikan kesedihannya. “kenapa malam-malam seperti ini kamu disini ?” tanya Kak Raka. “lagi cari angin. Aku tidak bisa tidur. Kakak sendiri sedang apa disini ? seperti hantu saja, tiba-tiba muncul.” Goda Kara. Kak Raka tertawa nyaring “aku ingin jalan-jalan, dan melihatmu disini.” Kata Kak Raka tersenyum. “kamu habis menangis ?” tanya Kak Raka.
Kara terdiam dan ia menggeleng. Namun, nampaknya Kak Raka tidak percaya dan tidak berusaha mendesaknya mengatakan perasaannya. Kak Raka mengingatkannya untuk segera istirahat, karena kondisinya tidak sehat. Kara pun mengikuti sarannya, sebenarnya bukan karena kesehatannya, tapi terlebih karena ia tidak bisa lagi menembunyikan rasa sedihnya.
***
Sebuah insiden terjadi pada Ayuki. Ketika Ayuki sudah merasakan puncak dari kemarahannya. saat ia merasa semua orang sudah tidak lagi perduli dengan perasaannya. “selama ini, aku sudah cukup bersabar. Mengapa kalian begitu perduli pada Kara ? apa dia anak kalian ?” ia bertanya dengan nada marah. “Ayuki.. kenapa kamu bicara seperti itu ?” tanya Kara. “kamu tidak usah ikut campur dengan urusan keluarga ini !” bentaknya. “Ayuki, jaga bicaramu…!!” hardik Kak Raka. “kenapa kalian sangat perhatian padanya, hingga kalian melupakan aku sebagai anak kalian !” ia masih saja marah-marah. “tidak ada yang seperti itu. Kami sangat menyayangimu, bagaimanapun juga kau tetap anak kandung kami.” Kata mamanya. “Ayuki, kami semua sayang padamu. Tidak ada yang lebih menyayangimu lebih dari keluargamu.” Kata Kara. “Diam kau!!” bentaknya dan Kara pun tak hanya terdiam tapi juga terkejut medengar suaranya. “kau itu bukan siapa-siapa kami, kau juga bukan keluarga kami, kau itu hanya anak yang menumpang disini !!” ia memaki Kara dengan kejamnya. “jadi jangan pernah ikut campur dengan masalah keluarga ini !” hardiknya.
Ayahnya pun tidak tinggal diam, ia berdiri dan menapar Ayuki. “Jaga bicaramu !” Ayahnya sudah mulai marah. “sekali lagi bicara seperti itu kau.. kau…” ayahnya tidak ingin melanjutkan kata-kata yang ingin ia keluarkan. “pertama kali dalam hidupku, ayah kandungku sendiri menamparku demi orang lain.” Kata Ayumi berderai air mata dan berlari meninggalkan rumah.
Kak Raka dan Kara mengejarnya. Emosi Ayuki sedang labil, hingga ia tidak memperhatikan sekitarnya. Ia tertabrak mobil, Kak Raka dan Kara terkejut dan berlari mendekati Ayuki. Mereka segera membawanya ke rumah sakit. Perjalanan menjadi terasa penuh dengan kecemasan.
***
Sudah hampir 1 minggu Ayuki masuk rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa ia akan mengalami kebutaan secara permanen perlahan-lahan, karena ada pembekuan di matanya akibat beturan. Kebencian dalam diri Ayuki terhadap Kara semakin bertambah. “Aku tidak mau buta ma..!!!” jeritnya sambil menangis. “ini semua gara-gara kamu !!” katanya pada Kara. Kara pun sedih melihat keadaannya seperti itu. “Maafkan aku..” kata Kara sambil menangis.
Ketika giliran berjaga dengan kak Raka. Selagi Kak Raka tertidur di sofa, Ia pergi keluar kamar. Ia merasakan sedih melihat Ayuki terbarting sakit gara-gara dirinya. Ia memandangi bintang di langit “kenapa ia membenciku? Saat ini Kara ingin ada didekat kalian. Kara tidak pernah menginginkan tinggal dengan orang lain, karena Kara tahu akan jadi seperti ini.” Kara menangis.
Kak Raka mendekatinya dan membelai rambut Kara. “ini semua bukan salahmu kok.” Kata Kak Raka dan duduk di samping Kara. Kara buru-buru menghapus air matanya. “Eh.. Kak Raka, kok bangun ?” Tanya Kara dengan pura-pura tersenyum. “aku melihatmu keluar dan aku mengikutimu.” Kata Kak Raka sambil memandang ke depan.
“aku tidak bisa tidur, dan sepertinya aku menderita insomnia.” Candanya. “aku tahu kamu menutupi kesedihanmu, tidak ada salahnya kita berbagi kan. Aku juga sudah tahu kok.” Kata Kak Raka sambil tersenyum dan melihat Kara. Kara Hanya terdiam. “aku selalu merindukan mereka. Setiap malam aku selalu bercerita pada bintang di langit, karena aku percaya orang tuaku menjadi bintang yang paling terang.” Ia tak bisa lagi membendung air matanya. Kak Raka memeluk bahunya. “mereka menjagaku, dan memandangiku. Terkadang aku iri melihat kalian, aku teringat orang tuaku. Aku ingin punya orang tua, dan sebuah keluarga.” Kak Raka membiarkan Kara menangis mengeluarkan kesedihannya.
Setelah lama bercerita, Kara pun tahu belum ada donor mata yang cocok yang bersedia mendonorkan matanya untuk Ayuki. “Ayuki tidak akan buta.” Kata-kata Kara mengejutkan Kak Raka. Ia bingung mengapa Kara begitu yakin akan hal itu. “Aku akan mendonorkan sepasang mataku.” Kali ini kata-katanya lebih mengejutkan lagi. “APA..! apa kamu sudah pikirkan masak-masak. Kamu bisa buta karena keputusanmu.” Kata Kak Raka. “aku tahu itu, dan aku mohon Kak Raka menjaga rahasia ini termasuk pada orang tua kakak.” Pinta Kara dan ia segera masuk ke kamar untuk melihat Ayuki.
***
Kak Raka mulai memberitahu bahwa ada yang akan mendonorkan mata untuk Ayuki. Semuanya menjadi senang, sejenak Kak Raka melihat ke arah Kara. ‘kau memang pantas mendapatkan begitu banyak cinta, karena ketulusanmu dan rasa cintamu untuk orang lain.’ Batin Kak Raka. Setelah berita tentang pendonor itu Kara jarang terlihat. Pak Bramantyo bertanya-tanya dimana Kara. Kak Raka kebingungan menjawabnya. “Hmm.. dia.. dia pergi ke rumahnya yang lama. Dia ingin mengenang orang tuanya.” Kata Kak Raka asal. “kasihan Kara, ia harus kehilangan orang tuanya.” Pak Bramantyo iba terhadap Kara.
Beberapa hari kemudian operasi pencakokan mata dilaksanakan. Semuanya khawatir dengan keadaan Ayuki. 6 jam sudah berlalu, namun dokter belum muncul dari ruangan operasi. Jam demi jam sudah berlalu. Operasi mata memang tergolong susah dan membutuhkan waktu yang lama. Hingga 4 jam kemudian dokter muncul dari ruangan operasi. “bagaimana keadaannya ?” tanya Pak Bramantyo. “Selamat.. Operasi berjalan dengan lancar, namun kita akan tahu hasilnya 3 hari kemudian.” Kata dokter dan berlalu dengan kesenangan dan do’a.
Selama itu Kara di rawat diruangan yang terpisah jauh dengan Ayuki. Diam-diam Kak Raka mendatangi kamarnya dan melihat ia terduduk di ranjangnya. Pandangannya kosong. “siapa itu ?” tanya Kara ketika ada seseorang yang datang mendekatinya. Namun, tak ada jawaban. “mungkin hanya perasaanku saja.” Kata Kara dan sejenak ia mengambil sebuah buku, lalu mengambil foto di dalamnya.
Ia memegang foto itu. Kak Raka tak lagi mampu menahan air matanya. Ia terharu melihat keadaan Kara. “bunda, ayah.. Kara sudah tidak bisa melihat lagi. Kara sudah buta. Kara juga sudah tidak bisa melihat bintang lagi. Kara hanya punya perasaan untuk merasakan keberadaan kalian.” Kata Kara menangis. “tapi setidaknya Kara senang bisa menyelamatkan keluarga orang lain dari kehilangan seperti Kara.” Kak Raka berjalan menjauh dan keluar dari kamar karena tidak tahan melihat Kara.
Kadang-kadang Kak Raka menemani Kara, agar ia tidak kesepian. “aku harus membiasakan melihat lingkunganku gelap.” Katanya seraya tersenyum. Kak Raka tahu apa yang ia ucapkan adalah rasa sedihnya sendiri yang ia tutupi. “aku yakin suatu saat matamu akan kembali, bahkan menjadi mata yang lebih indah.” Kata Kak Raka sambil memegang tangan Kara. “dan aku tidak akan membiarkan kamu sendiri.” Lanjutnya. Kara senang, mendengar kata-kata Kak Raka. “Tapi, kak jangan lupa Ayuki harus lebih diperhatikan. Karena sekarang dia lebih membutuhkan kakak.” Kata Kara mengingatkan. “mama, papa juga sudah cukup.” Kata Kak Raka singkat. “peran seorang kakak juga sangat penting bagi adiknya. Lagipula, aku tidak apa-apa.” Kata Kara menghibur.
***
2 bulan setelah operasi itu keluarga Bramantyo berusaha mencari Kara, tapi tidak ada yang menemukan. Ketika sedang berkumpul di ruang keluarga. Mereka membahas menghilangnya Kara. “dasar anak tidak tahu terima kasih, sudah numpang perginya tidak pamit pula.” Kata Ayuki sinis. “Ayuki jaga bicaramu !” bentak Kak Raka. “Sudah.. sudah.. Ayuki sebaiknya kamu tidak usah bicara lagi.” Kata papanya ikutan kesal. “kenapa sih semuanya jadi perhatian banget ke dia. Padahal dia bukan siapa-siapa.” Katanya kesal.
Kak Raka mulai kesal “sudah aku bilang jaga bicaramu. Kamu itu tidak tahu apa-apa dan tidak perlu tahu apa-apa.” Kata Kak Raka kelepasan. “apa maksud kakak ?” tanyanya tidak mengerti. Kak Raka hanya terdiam. “Raka apa yang tidak perlu kami tahu ? ada apa Raka ?” Kata mamanya.
Lama Kak Raka terdiam, akhirnya ia menceritakan semuanya. Semuanya terkejut mendengar cerita Kak Raka. “Tidak…Tidak…itu tidak mungkin !!” teriak Ayuki tidak percaya. “Kakak pasti bohong padaku, iya kan ?” Ia memastikan pertanyaan kakaknya. Kak Raka hanya menggeleng “orang yang kamu benci adalah orang yang menolongmu lepas dari kebutaan. Tapi, kamu dengan mudahnya masih menghina dia seperti itu.” Kata Kak Raka. Ayuki tak tahan lagi dan berlari ke kamar.
***
Keesokan harinya, keluarga Bramantyo mengunjungi Kara di rumahnya yang lama. Mereka melihat Kara duduk di taman dengan selembar foto. Bi Asih pembantu keluarga Kara yang setia, mengantar keluarga Bramantyo menemui Kara di taman belakang rumahnya. Bi Asih tidak bisa berlama-lama karena ia tidak tega melihat nonanya sedih.
Tante Ranti, Pak Bramantyo, Ayuki, dan Kak Raka tidak tega melihat Kara. Ia duduk dengan pandangan kosong sambil memegang selembar foto. “Bunda, Ayah.. apa itu kalian? Aku merasakan kehadiran kalian disini. Tolong jawab aku jika itu kalian. Aku tidak bisa lagi melihat kalian, aku sudah buta.” Kara menangis begitu juga keluarga Bramantyo. Mereka merasakan kesedihan dan beban yang Kara bawa. “Aku sangat merindukan kalian, aku ingin kalian kembali, sudah 2 tahun kalian meninggalkanku sendiri. ” katanya.
“kamu tidak akan pernah sendiri, karena kami akan jadi keluargamu.” Kata Ayuki memegang tangan Kara. “siapa ini ? sepertinya aku familiar dengan suara ini.” Kata Kara. “Aku Ayuki, dan keluargaku semua ada di sini.” Kata Ayuki. “kenapa kalian disini ? dan darimana kalian tahu aku disini ?” tanya Kara tidak percaya. “mereka tahu dari aku. Maafkan aku tidak bisa menepati janji.” Kata Kak Raka merasa bersalah. “maafkan, aku Kara.. Aku sudah tahu semuanya. Aku merasa kau mengambil orang yang aku sayangi. Tapi aku salah. Kau memang pantas mendapatkannya. Maafkan aku..” kata Ayuki dan menangis di pangkuan Kara.
Mereka semua menangis. “aku tidak akan pernah mengambil keluargamu, karena mereka itu milikmu. Aku hanya akan memiliki orang tuaku selamanya, walau mereka sudah meninggal.” Kata Kara sambil menangis. “Tidak.. untuk selamanya kau akan menjadi keluarga kami. Keluarga Bramantyo.” Kata Ayuki. “kalau kau memaafkan aku, kau pasti mau mengabulkan permintaanku.” Lanjut Ayuki. “Benarkah..! aku mau.” Dan mereka pun menangis. Sebuah tangisan bahagia.
Akhirnya semuanya tahu bahwa seistimewa apapun keluarga orang lain, tapi lebih istimewa keluarga sendiri. Namun, apa salahnya jika kita menganggap orang lain sebagai keluarga, untuk menyayangi mereka seperti keluarga dan membantu mereka menemukan kebahagiaan dengan ketulusan dan cinta. Karena ketulusan dan cinta tak akan ada batasnya.
0 comments:
Post a Comment