Siang ini cuaca nampak mendung, seolah-olah memberitahukan akan turun hujan. Aku bahkan nggak memperdulikan jika hujan, langit mendung ataupun cuaca yang berubah seperti apapun. Aku hanya melangkahkan kaki kemana ia akan melangkah pergi. Siang ini aku hanya menunjukkan sebuah kepasrahan atas kelemahan yang aku miliki. Dibenakku hanya ada keinginan untuk lari dan lari.
Dalam larutnya pikiran, aku baru menyadari kemana tujuanku. Betapa bodohnya aku, masih juga tidak menyadari kemana aku akan pergi dalam keadaan yang aku alami saat ini. Hanya sebuah tempat yang menjadi kenangan bagi aku dan seseorang yang hanya akan menjadi sahabat untukku dan tempat itu pula yang selama ini menjadi perlarianku.
Sebuah taman yang tak terurus di seberang sungai, ada sebuah rumah pohon yang aku dan Taka bangun saat kami masih kecil. Rumah pohon yang menjadi tempat persembunyian kami, saat salah satu dari kami merasa ingin lari dari masalah atau merenung, maka aku atau Taka akan pergi ke rumah pohon ini.
“rasanya baru kemarin aku membangun rumah pohon ini, tak terasa sudah 7 tahun rumah ini dengan segala kenangannya.” aku langsung menaiki tangga dari kayu yang tertancap pada kayu pohon. Rasa sedih yang aku bawa semakin tak tertahan. Setelah aku menyadari aku akan meninggalkan rumah pohon ini. “mulai besok kamu akan sering di kunjungi oleh Taka, itu pun kalau Taka sempat.” Kataku pada rumah ini. Aku menangis di sudut rumah seraya tertawa ketika kenangan–kenangan bermunculan satu demi satu.
Aku mendengar rintik-rintik hujan, kemudian dengan hitungan detik berubah menjadi hujan yang deras. Hujan dan air mata seolah-olah mendramatisir keadaan yang aku alami. Menambah kepedihan semakin dalam. Aku tak ingin pikirkan itu, namun semua terjadi dengan sendirinya dan aku hanya ingin menikmati saat terakhir di rumah ini sebelum aku pergi meninggalkan rumah pohon ini, kota ini, dan semuanya. Aku hanya akan membawa kenangan-kenangan yang masih tersisa.
Rabu sebulan yang lalu sekitar pukul 3 sore, selesai kuliah dengan segala kelelahan yang menggelayut ditubuhku, aku pulang ke rumah dengan tenaga yang masih tersisa. Aku menggunakan roller skeat-ku menuju rumah. Rumah dan kampusku juga tak terlalu jauh kira-kira hanya 1,5 km.
Saat aku asyik meluncurkan roda Roller skeat-ku dengan tenaga yang mulai menurun, bunyi klakson sebuah mobil mengagetkan aku, hingga roda Roller skeat-ku tak bisa ku kendalikan dan membuatku terjatuh.
“Sialan..!!” umpatku sambil berusaha berdiri dan menggosok-gosok pantatku yang sakit. Seseorang segera turun dari mobil dan ia bukannya menolong malah menertawaiku. Aku sudah bisa tahu siapa orang yang mempunyai kebisaan seperti itu.
“katanya Roller skeater profesional.” goda Taka sambil melihat keadaanku. “Gila kau.. dimana-mana juga kalo orang dikagetin ama suara klaksonmu juga bakal kaya’ aku. Seprofesional siapa pun itu.” Kataku kesal bercampur dengan kelelahan yang ada di tubuhku. “untung aku nggak kenapa-napa, nah..kalo ampe kenapa-napa atau aku mati kamu mau aku gentayangin ?!” tanyaku iseng dengan nada yang kesal.
Taka dan aku duduk di gazebo di depan fakultasku. “ya.. kalo kamu gentayangin aku nggak apa-apa kok, ntar aku jadiin penjaga rumah biar nggak ada maling. Hahaha…” jawab Taka gokil. “Huuu… enak aja kalo ngomong” kataku nggak bisa menahan tawa untuk jawaban-jawaban Taka yang gokil.
Saat asyik dengan obrolan iseng itu, tiba-tiba dari arah yang berlawanan seorang cewek menyapaku dan seketika pembicaan kami pun berhenti. “eh. kamu ‘Ra.. ya, aku baru aja kelar kuliah. Tapi, sekarang malah nyangkut disini gara-gara orang ini.” Sambil menyikut lengan Taka. Taka yang dari tadi mulai curi-curi mata ke arah Laira.
Laira sahabatku juga. satu ujurusan denganku, tapi kadang-kadang kuliah kami berbeda kelas. Rambut panjang, dan mata yang indah memang dimiliki Laira, dan itu salah satu alasan banyak orang yang jatuh cinta pada Laira. Mungkin termasuk Taka. “Eh.. iya, kenalin ini sahabatku, Taka.” Kataku memperkenalkan Taka. Taka menyambut uluran tangan Laira dengan penuh senyum yang berarti. “Laira..” Laira memperkenalkan diri. “kuliah di fakultas sini juga ?” tanya Laira.
“nggak.. aku kuliah di fakultas hukum. Ternyata kamu satu jurusan ama marmut.” Kata Taka sambil melihat ke arahku. “marmut ?” tanya Laira nggak ngerti. “maksudnya si Cerry.” Lanjut Taka menangkap kebingungan Laira. “oh.. iya, kita satu jurusan, tapi kadang-kadang juga beda kelas.” Jawab Laira. “kamu masih ada kuliah ‘Ra ?” tanyaku.
“iya.. ada kuliah pengantar Sastra ampe jam 5.” Jawab Laira sambil tersenyum dan kadang aku menangkap mata Laira melihat ke arah Taka. “oh,ya.. aku dari tadi nyari kamu, aku pikir udah pulang. Eh.. malah ada disini.” Kata Laira sambil duduk disampingku. “mang ada apa ? kaya’ artis aja dicariin. Hehehe..” kataku cengr-cengir. “Uh.. bisa-bisa acaranya kaga’ ada yang nonton.” Celetuk Taka sambil tertawa.
Laira merogoh tasnya dan mengambil buku. “aku mau ngembaliin buku ini.”seraya memberikannya padaku. “oh, iya aku lupa.. Makasih ya.” Kataku sambil tersenyum. “Btw, balik duluan ya bentar lagi masuk.” Pamit Laira, dan setelah itu dia berjalan menjauhi kami yang masih ada di Gazebo itu.
“buku apaan nich ?” tanya Taka sambil merebut buku yang aku pegang. Ia melihat sampulnya dan langsung mengembalikannya padaku karena aku tahu buku itu tidak akan menarik perhatiannya sama sekali. “temen kamu cantik juga.” Kata Taka tiba-tiba. “ah, dasar kamu. Kalo ada cewek cantik aja langsung pasang radar.” Kataku sambil memasukkan buku.
“udah punya gebetan belum ?” tanyanya. “belum.. mang napa?” tanyaku ragu-ragu. “nggak ada, pengen tau aja. Siapa tahu dia cewek yang aku cari.” Taka cengar-cengir. “udah ah, aku mau balik. Cape’..” kataku sambil dibantu Taka berdiri karena dia tahu aku masih menggunakan roller skeat-ku. “bareng ma aku aja yuk..” ajak Taka. Tanpa pikir dua kali aku tentu terima tawarannya, apalagi dalam keadaan lelah seperti itu
Sejak pertemuan itu, Taka mulai dekat dengan Laira. Awalnya kenalan, minta nomor HP-nya, tanya-tanya rumahnyajalan bareng ama Laira, dan kadang-kadang main ke rumah Laira.
Entah kenapa sejak pertemuan itu aku mulai merasa takut kehilangan Taka. Padahal saat dengan mantan-mantannya yang dulu, aku nggak pernah merasa sekhawatir ini. ‘aku harap perasaanku salah menilai ini semua.’ Pikirku. Pikiranku dan batinku saling bertentangan. Pikiranku hanya mengatakan aku takut kehilangan sahabat, tapi batinku mengatakan aku udah jatuh cinta dengan Taka.
Hari demi hari mereka menjadi sangat dekat. Bahkan Taka pernah mengatakan “sepertinya aku mulai jatuh cinta ama Laira. Mungkin nggak ya, dia suka ama aku ?” kata-kata Taka seperti bom yang meledakkan peredaran darah, sampai-sampai menekan nafasku. Apa yang aku takutkan pun terjadi.
Taka mulai gencar mendekati Laira dengan segala upaya. Dia meminta saran-saranku. Aku juga sering mendengar cerita-cerita Taka dari Laira setiap aku bertemu dengannya. Dia bilang Taka itu orangnya keren lah, lucu, perhatian dan lain-lain. ‘kenapa sih nih orang-orang.’ Entah kenapa merasa kesal.
Sedikit demi sedikit aku mencoba menjauh dari Taka. Menghindari apa yang aku pikirkan benar-benar terjadi. Tapi, sebelum aku mencoba menjauh aku menyadari bahwa aku sudah jatuh cinta pada Taka dan apa yang aku rasakan menjelaskan semuanya.
Semakin aku tahu perasaan Taka pada Laira, semakin keras aku berusaha untuk mejauh darinya. Aku semakin sering pergi ke rumah pohon setiap aku ingin lari darinya, setiap aku ingin menyendiri, bahkan ingin lari dari semua masalahku. Aku pun jadi jarang bertemu dengannya. Kita jadi sering mengobrol lewat telepon, sampai-sampai kantong pulsa jadi bolong.
Hingga suatu ketika aku memutuskan untuk pindah kuliah ke Bandung. Keputusan ini sudah aku bicarakan pada kak Tory. Kakak cowok satu-satunya. “apa kamu yakin dengan keputusan itu ?” tanya Kak Tory saat itu. “aku yakin kok kak.” Aku tersenyum dengan senyum yang memaksa. “kamu pindah ke Bandung bukan karena Taka kan ?” pertanyaan Kak Tory sedikit membuatku kikuk. “ng..ng..nggak kok. Ini keputusan aku sendiri.” Namun sepertinya kak Tory menangkap apa yang aku sembunyikan.
YYY
Pagi ini di hari sabtu yang merupakan hari kebebasanku. Bebas dari tugas-tugas kuliah dan jadwal kuliah yang lumayan padat. Tiba-tiba Hp-ku berdering, dan nama Taka muncul di layar Hp-ku. Aku mengangkat telepon darinya dengan keraguan. Ternyata dia memintaku untuk datang ke rumahnya dan aku menyanggupinya. Mungkin sudah saatnya aku berhenti menghindarinya terus menerus.
Sekitar pukul 9 pagi, aku datang ke rumahnya. Aku medengarkan segala curhat-curhatnya tentang Laira. “menurut kamu apa aku mesti nembak Laira ?” tanyanya dengan wajah yang bercahaya. “ya, terserah kamu sih.. kalo kamu yakin Laira yang terbaik, kenapa nggak.” Kataku sambil berusaha menahan perih, dengan senyum simpul.
Mungkin memang selamanya Taka hanya akan jadi sahabat buat aku, dan harapanku dia bisa bahagia dengan orang yang dia cintai, walau itu bukan aku. Tapi apa aku sanggup melihatnya jalan dengan orang lain. Itu pertanyaan yang aku tanyakan pada diriku sendiri.
Tanpa sadar pikiran itu membuatku melamun, dan Taka menyadari pikiranku sedang tidak pada cerita Taka. “Woii.. ngelamunin apaan sih ? kamu lagi ada masalah ?” tanya Taka. “beberapa minggu ini kamu susah banget di temui, dan gw sering liat kamu ke rumah pohon.” Lanjut Taka sambil melihatku dengan serius.
Aku nggak berani melihat Taka, karena aku nggak yakin bisa menyembunyikan masalahku darinya. Pasti dia tahu aku menyimpan sesuatu yang tidak dibagi dengannya. “nggak.. aku cuma mikir kapan waktu yang tepat buat kamu nembak Laira.” Kataku sambil tersenyum dan melihat ke arahnya sesaat. “oh,ya..” Taka seolah-olah nggak percaya pada apa yang aku katakan. “aku mau ke kamar mandi dulu, udah kebelet.” Seraya tersenyum. Aku berusaha menenangkan diriku di toilet. Taka hanya melihatku dengan terheran-heran.
Sekembalinya dari toilet, aku sedikit lebih tenang. “eh, tadi ada yang telepon di hp kamu. aku bilang kamu lagi di toilet.” Kata Taka. “mang siapa yang telepon aku ?” sambil mengambil biscuit di meja dan duduk di sebelah Taka. “Tory… katanya ada hal yang pengen dibicarain gitu, nggak bisa lewat telepon” Kata Taka. “oh, gitu.. kayaknya aku mesti balik nich. Takut kak Tory nunggu, kayaknya penting banget.” Aku jadi punya alasan untuk secepatnya pergi dari keadaan yang menjepitku.
“kenapa aku ngerasa kamu menghindar dari aku sih?” Taka memegang tanganku, dan aku berusaha melepaskan genggaman itu. “Hmm, aku nggak menghindar, walau aku menghindar juga nggak akan bisa. Kamu aja nggak bisa hidup tanpa aku. Hehehe..” kataku cengar-cengir berusaha nampak seperti biasanya.
“ya, bener juga.. aku memang nggak bisa hidup tanpa kamu.” Taka terdiam. “mw nggak kamu selalu ada buat aku ?” Tanya Taka nampak serius. Aku jadi takut dia menganggap serius ucapanku, aku diam sesaat. “karena kamu kan asisten aku. Hahaha..” katanya tiba-tiba, seolah-olah takut aku menganggapnya serius juga.”Ye, ogah ah.. hahaha..” Aku pun lega, dan ikut tertawa juga. ‘andai kata-katanya memang untukku.’ Aku hanya membatin.
Aku pun pergi meninggalkan rumah Taka. Di jalan aku sempat menelpon kak Tory, untuk memberitahu kalau aku masih ada urusan setelah dari rumah Taka. Ternyata Kak Tory sudah mencarikan dan mendapat informasi tentang salah satu universitas di Bandung. “kalo kamu mau kuliah di sana, ntar aku daftarin.” Kata Kak Tory. “aku pikir-pikir dulu ya kak. Ntar sepulang aku ke rumah, aku kasih tahu.” Kak Tory menyetujuinya dan menutup teleponnya.
YYY
Akhirnya aku tiba di rumah pohon ini, untuk mengingat semua kenangan-kenangan yang tersimpan. Mengapa rasanya sakit, menyadari ini semua akan berakhir seperti ini. Aku dan Taka yang bersahabat sejak kecil, membuatku sadar ada hal lain selain persahabatan diantara kami.
Derai hujan yang semakin deras menghanyutkan aku dalam lamunan-lamuanan dan kenangan-kenangan. Hingga di bawah derai hujan yang deras “CERRY..!” seseorang berteriak memanggil namaku. Aku terlonjak kaget dan segera mendekati jendela.
Taka berdiri dalam derasnya hujan. “kamu udah gila ya.. ngapain kamu kesini ? pake acara hujan-hujan segala. Ayo masuk !” teriakku kesal. “Nggak mau ! sebelum loe jelasin kenapa kamu bohong ma aku ?” kenapa dia yakin banget kalo aku sedang berbohong. “aku bohong apa ma kamu ? udah kamu cepet masuk, ntar sakit lho.” Taka masih bersikukuh meminta jawabanku.
“kalo kamu nggak mau naik, biar aku yang turun !” kataku kesal. Aku segera turun dari rumah pohon itu dan menghampirinya. Jarak kami begitu dekat, tatapan mata kami bertemu dan dibawah derai hujan. “kenapa kamu bohong ma aku ? kenapa loe nggak cerita ma aku kalo kamu ada masalah ?” Taka memegang lenganku.
“aku nggak bohong ma kamu. Mang aku bohong apaan ?” Kataku bingung sebenarnya dia membicarakan tentang kebohongan apa. “kamu bilang kalo kamu nggak ada masalah, dan kamu bilang kamu nggak menghindar dari aku.” Kata-kata Taka membuatku terdiam sesaat. “aku memang nggak ada masalah, dan aku juga nggak menghindar dari kamu. Kenapa kamu bisa bilang kalo aku bohong ma kamu ?” kataku sambil menaiki tangga, dan Taka mengikuti di belakang. Taka masih tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
“aku kesini karena aku pengen kesini, lagian tadi aku mau balik keduluan ama hujan dan kalo aku jarang ketemu ma kamu karena aku sibuk.” Taka terdiam mendengar jawaban dariku. “kamu bohong lagi ma aku.” Katanya lirih. “bentar aku ambilin kain.” Nggak lama Taka pun masuk ke rumah. “kamu keringin badanmu pake ini, sebelum masuk angin.” Sambil menyerahkan sebuah kain bersih pada Taka.
“kenapa kamu harus bohong tentang ini semua ? kenapa kamu nggak cerita ma aku.” Aku memalingkan wajah, dan tidak menatap Taka lebih dalam lagi. “lihat mataku Cer...” Taka terus mendesakku. “ye, kamu kagak percayaan ma aku sih. Aku nggak punya masalah. Aku baik-baik aja. Ni liat..” Sambil menunjukkan senyuman. Senyuman yang dibuat-buat. “aku bikinin teh biar kamu hangat.” Aku membalikkan badan dan menahan air mata yang sudah memaksaku untuk keluar.
Sebelum sempat melangkah, Taka menggenggam tanganku dan mencegahku untuk melangkah. “apa harus pindah ke Bandung ?” aku terdiam dan darimana dia tahu masalah itu. “kamu masih mau bohong dengan ini.” Taka menujukkan sesuatu. Aku membalikkan badan dan terkejut dengan apa yang di bawa Taka. Buku diary–ku ada pada Taka. “kok bisa di kamu?” kataku dengan nada tinggi dan langsung menyambar buku itu.
“waktu kamu ke toilet,hp-mu bunyi. Aku angkat hp-mu dan menemukan ini. Aku pikir ini buku apaan.” Kata Taka seperti merasa bersalah. “Kamu lancang banget. Ini kan privasiku !” amarahku memuncak . “aku tau, aku salah. Nggak seharusnya aku baca buku harianmu, tapi perasaanku meyakinkan ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku, dan buku itu membantuku mengetahuinya.” Kata Taka. Aku terdiam, dan tangisku pecah. Tak dapat lagi aku bendung air mata yang memaksaku untuk mengeluarkannya.
Taka memelukku erat. “aku nggak tahu, kenapa ini bisa terjadi. Aku ingin menghindar darimu, pengen lari tapi semakin ingin lari semakin aku deket ama kamu.” Aku menangis di pelukan Taka. Taka menghapus air mataku. “maafin aku..” aku merasa bersalah memiliki perasaan ini pada orang yang salah. “Hushh..” ia meletakkan telunjuknya di bibirku. “nggak perlu minta maaf.. aku juga mau bilang sesuatu ma kamu.” Kata-katanya terdengar serius.
“aku udah tahu kalo aku nggak bisa jauh dari kamu lama sebelum kamu menjauh dariku, sebelum aku kenal ama Laira. Dan semua yang kamu dengar pagi ini, itu benar.” Taka membelai pipiku. “kata-kata, kalo aku nggak pernah bisa jauh darimu, dan harapanku kamu selalu ada buatku. Aku serius.” Taka menatapku dengan tatapan yang penuh arti. “Aku sadar loe menjauh dariku, makanya aku sengaja mencarimu. Karena aku yakin ama perasaanku yang ngomong kalo kamu punya perasaan yang sama denganku.” Hatiku merasa bahagia mendengar apa yang Taka ucapkan. “aku berharap kamu selalu ada buat aku sebagai orang yang aku cintai, karena aku akan selalu ada buat jagain kamu ,menyayangimu dan mencintaimu.” Taka memelukku erat.
Aku baru tahu kalo sebenarnya dia mendekati Laira cuma buat cari tahu apa aku punya perasaan yang sama dengannya, dan aku baru tahu kalo Laira bekerja sama dengan Taka, karena Laira pun sebenarnya sudah menyadari bahwa perasaanku pada Taka bukan perasaan sahabat yang biasa. “Laira berkata padaku” Taka berkata sambil memelukku. “ikuti kemana hatimu melangkah, dan kejarlah orang yang kamu cintai jangan biarkan dia jauh darimu.” Kata Taka sambil tersenyum padaku.
Sebuah cinta yang hadir diantara sebuah persahabatan akan lebih indah, karena kita sudah mengenal satu dengan yang lainnya dan kita bisa saling melengkapi. Sebuah cinta yang hadir dalam persahabatan akan lebih nyaman tanpa perlu saling menutupi kekurangan masing-masing. Jatuh cinta pada seseorang bukanlah suatu kesalahan, karena tidak ada seseorang yang sengaja jatuh cinta.
0 comments:
Post a Comment